M. Anwar Rifa’i – Tugumulyo, 30 April 2025 – Pernikahan adalah ikatan yang bisa menghalalkan sesuatu yang sebelumnya sangat diharamkan syariat. Sebelum menikah kontak biologis disebut zina dan termasuk dosa besar, tapi setelah pernikahan, kontak biologis itu menjadi legal, halal, bahkan berpahala.
Untuk itu kita perlu berhati-hati dalam membangun dasarnya, karena jembatan pemisah ini terlampau ekstrem yakni antara dosa besar dan berpahala. Konsekuensi akad nikah tidak hanya menyatukan sepasang kekasih dalam ikatan yang halal, tetapi juga membawa tanggung jawab syariat, salah satunya adalah kwajiban membayar mahar bagi pria.
Masalah: Dalam praktiknya, kita sering mendengar istilah mahar, tetapi tidak jarang pula muncul kebingungan, terutama ketika penyebutan mahar dalam akad nikah ternyata tidak jelas atau ambigu, ini dikenal sebagai mahar majhul.
Sebagai contoh:
- “…dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai” atau
- “…dengan perhiasan emas dibayar tunai”
Kedua contoh ini adalah praktik penyebutan mahar majhul (tidak spesifik) yang berkonsekuensi suami harus membayar mahar mitsil.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan mahar majhul? Berapa nilai mahar mitsil? Mari kita bahas secara sistematis agar lebih mudah dipahami, dengan merujuk pada kitab turats yang otoritatif.
1. Memahami Jenis Mahar: Musamma dan Mitsil
Sebelum masuk ke pembahasan mahar majhul, kita perlu memahami dua jenis mahar: 1) mahar musamma dan 2) mahar mitsil.
Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan secara spesifik dalam akad nikah berdasarkan kesepakatan antara calon mempelai pria dan wali, dengan mempertimbangkan hak yang sepadan bagi mempelai wanita atau minimal ridhonya jika nilai maharnya sedikit.
Contoh penyebutan mahar secara spesifik (mahar musamma), “Saya nikahkan putriku kepadamu dengan mahar cincin emas rose gold seberat 5 gram.”.
Sementara itu, mahar mitsil adalah nilai mahar yang setara dengan apa yang biasa dibayarkan untuk wanita yang sepadan dengan sang istri dalam hal nasab (keturunan), kecantikan, status sosial, dan sifat lainnya. Mahar ini menjadi acuan ketika mahar dalam akad tidak disebutkan atau disebutkan tetapi tidak memenuhi syarat keabsahan.
Dalam kitab Umdah al-Salik (hal. 208), dijelaskan:
ثم مهر المثل هو ما يرغب به في مثلها، فيعتبر بمن يساويها من نساء عصباتها في السن والعقل والجمال واليسار والثيوبة والبكارة والبلد
“Mahar mitsil adalah nilai yang dikehendaki pria untuk diberikan kepada wanita yang setara dengannya (Istilah kasarnya; sejumlah mahar yang pantas dan layak diberikan padanya), dipertimbangkan berdasarkan wanita dari kalangan ashabahnya yang setara dalam usia, akal, kecantikan, kekayaan, status janda atau perawan, dan tempat tinggal.”
2. Hukum Penyebutan Mahar dalam Akad Nikah
Apakah menyebutkan mahar dalam akad nikah wajib? Menurut mazhab Syafi’i, penyebutan mahar hukumnya sunnah, bukan syarat sahnya akad. Artinya, akad nikah tetap sah meskipun mahar tidak disebutkan, bahkan jika disertai pernyataan menafikan mahar, seperti, “Saya nikahkan putriku kepadamu tanpa mahar.” Namun, penting dicatat: meskipun akad sah, suami tetap wajib membayar mahar, dan nilai yang wajib dibayarkan adalah mahar mitsil.
«حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب» (٣/ 436):
«(وَيُسْتَحَبُّ) لِلزَّوْجِ (تَسْمِيَةُ الْمَهْرِ) لِلزَّوْجَةِ (فِي) صُلْبِ (النِّكَاحِ) أَيْ الْعَقْدِ؛ «؛ لِأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يُخْلِ نِكَاحًا عَنْهُ» ، وَلِأَنَّهُ أَدْفَعُ لِلْخُصُومَةِ؛ وَلِئَلَّا يُشْبِهَ نِكَاحَ الْوَاهِبَةِ نَفْسَهَا لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ….. (فَإِنْ لَمْ يُسَمِّ) صَدَاقًا بِأَنْ أُخْلِيَ الْعَقْدُ مِنْهُ (صَحَّ الْعَقْدُ) بِالْإِجْمَاعِ، لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُمَا. ….وَإِذَا خَلَا الْعَقْدُ مِنْ التَّسْمِيَةِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ مُفَوِّضَةً اسْتَحَقَّتْ مَهْرَ الْمِثْلِ بِالْعَقْدِ.
“Disunnahkan bagi suami untuk menyebutkan mahar bagi istri dalam akad pernikahan, yaitu pada saat akad nikah. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan pernikahan tanpa menyebutkan mahar, juga karena penyebutan mahar dapat mencegah perselisihan, dan agar pernikahan tersebut tidak menyerupai pernikahan seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ……Jika mahar tidak disebutkan, yaitu ketika akad nikah tidak memuat penyebutan mahar, maka akad nikah tetap sah berdasarkan ijma’ (konsensus ulama). Namun, hal ini dianggap makruh sebagaimana ditegaskan oleh al-Mawardi, al-Mutawalli, dan ulama lainnya…….Apabila akad nikah tidak memuat penyebutan mahar dan wanita tersebut bukan mufawwidhah (yang menyerahkan penentuan mahar kepada suami), maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil berdasarkan akad tersebut.
3. Mahar Majhul: Ketika Penyebutan Mahar Tidak Jelas
Masalah muncul ketika mahar disebutkan dalam akad, tetapi penyebutannya ambigu atau tidak jelas (majhul). Misalnya,
- “Aku nikahkan putriku fulanah kepadamu dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
- “Aku nikahkan putriku kepadamu dengan mahar perhiasan emas dibayar tunai.”
Penyebutan ini dianggap majhul karena tidak jelas dan tidak terukur, yakni:
- Seperangkat alat sholat: Apakah mencakup mukena, sajadah, atau tasbih? Jika ya, mukena dari bahan apa? Sajadah ukuran berapa? Tasbih terbuat dari apa?
- Perhiasan emas: Apakah kalung, cincin, atau gelang? Berapa gram? Berapa kadarnya?
Dalam kasus penyebutan mahar bersifat majhul ini, hukum akad nikah tetap sah tetapi mahar yang disebutkan tidak sah, dan suami wajib membayar mahar mitsil.
Syarat keabsahan mahar musamma adalah penyebutannya harus jelas (ma’lum), baik dari segi jenis, jumlah, maupun sifatnya, untuk menghindari gharar (ketidakpastian) yang dilarang syariat.
Dalam Asna al-Mathalib (15/318), dijelaskan:
( الْبَابُ الثَّانِي فِي ) حُكْمِ ( الصَّدَاقِ الْفَاسِدِ وَلِفَسَادِهِ أَسْبَابٌ ) سِتَّةٌ ( الْأَوَّلُ ) ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا ( عَدَمُ الْمَالِيَّةِ ) فِيهِ مُطْلَقًا أَوْ لِلزَّوْجِ كَخَمْرٍ وَمَغْصُوبٍ ( وَقَدْ سَبَقَ ) ……. ( و ) ثَانِيهِمَا ( الْجَهَالَةُ ) كَأَنْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا أَوْ ثَوْبًا غَيْرَ مَوْصُوفٍ فَيَجِبُ مَهْرُ الْمِثْلِ لِفَسَادِ التَّسْمِيَةِ
“Bab kedua tentang hukum mahar yang fasid, dan sebab kefasidannya ada enam. Yang pertama terbagi dua: (1) tidak memiliki nilai harta secara mutlak atau bagi suami, seperti khamr atau barang curian… (2) ketidakjelasan (jahalah), seperti memberikan mahar berupa seorang hamba atau kain tanpa keterangan sifatnya, maka wajib mahar mitsil karena penyebutan yang fasid.”
Juga dalam Fath al-Wahhab (1/274):
(و) خامسها (علم) للعاقدين به عينا وقدرا وصفة على ما يأتي بيانه حذرا من الغرر، لما روى مسلم أنه (صلى الله عليه وسلم) نهى عن بيع الغرر
“Dan yang kelima adalah kedua pihak yang berakad mengetahui bentuk, jumlah, dan sifatnya (mahar), sebagaimana akan dijelaskan, untuk menghindari gharar, atas dasar riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung gharar.”
4. Solusi untuk Menghindari Mahar Majhul
Agar terhindar dari masalah mahar majhul, ada dua solusi praktis yang bisa diterapkan:
- Menyebutkan Mahar secara Spesifik
Penyebutan mahar harus jelas, terukur, dan tidak meninggalkan ruang untuk tafsir ganda. Contohnya:
- “Uang tunai Rp1.000.000.”
- “Seperangkat alat sholat berupa mukena woll warna putih model terusan ukuran XL, sajadah berbahan beludru ukuran 70×110 cm, dan tasbih kayu oka-oka 100 butir berdiameter 2 mm, dibayar tunai.”
- “Kalung emas jenis collar seberat 4 gram, dibayar tunai.”
- Menunjuk Benda Mahar dengan Isyarat Jelas
Jika mahar berupa benda, kedua belah pihak harus melihat benda tersebut secara langsung (tidak terbungkus) dan menunjuknya dengan isyarat yang jelas. Contoh:
- “Seperangkat alat sholat INI, dibayar tunai.”
- “Perhiasan emas INI, dibayar tunai.”
Dengan dua cara ini, potensi gharar dapat dihindari, dan akad nikah menjadi lebih sesuai dengan syariat.
5. Lebih Dalam tentang Mahar Mitsil
Sekarang, mari kita dalami apa itu mahar mitsil. Mahar mitsil ditentukan berdasarkan mahar yang biasa diberikan kepada wanita dari kalangan ashabah (kerabat dekat dari garis ayah) istri, seperti kakak perempuan, bibi, atau sepupu. Faktor yang dipertimbangkan meliputi nasab, kecantikan, status perawan atau janda, akhlak, pendidikan, dan lingkungan tempat tinggal. Jika tidak ada ashabah, maka merujuk pada kerabat lain (seperti ibu atau bibi dari ibu) atau wanita sepadan di daerahnya.
Referensi: Dalam Mughni al-Muhtaj (13/18), disebutkan:
فصل أي في ضابط ذلك ( مهر المثل ما يرغب به في مثلها ) عادة ( وركنه ) أي مهر المثل ( الأعظم نسب ) في النسيبة لوقوع التفاخر به كالكفاءة في النكاح
“Bab tentang ketentuan mahar mitsil, yaitu sejumlah nilai yang umumnya dikehendaki pria untuk wanita yang sepadan dengannya. Unsur utamanya adalah nasab, karena nasab sering menjadi kebanggaan, sebagaimana kecocokan dalam pernikahan.”
Berapa nilai mahar mitsil?
Ini sangat kondisional. Untuk wanita dengan nasab dan sifat biasa, mungkin setara 5 gram emas atau Rp1.000.000. Namun, jika wanita tersebut berpendidikan tinggi, shalihah, berakidah ahlussunnah, dan berasal dari keluarga ulama, tentunya mahar mitsil-nya bisa jauh lebih tinggi. Sebaliknya, jika nasab atau akhlaknya kurang baik, nilainya bisa lebih rendah.
6. Penutup
Mohon lebih berhati-hati lagi bagi para wali hakim atau Kyai sekalipun, karena masalah mahar majhul ini sudah lumrah terjadi di mana-mana.